Minggu, 21 Juni 2015

Perjanjian Internasional

Perjanjian Internasional


Pengertian Perjanjian Internasional

Perjanjian Internasional     Secara umum perjanjian internasional dapat diartikan sebagai suatu persetujuan yang dinyatakan secara formal antara dua atau lebih negara mengenai penetapan, penentuan, atau syarat timbal balik tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak.

     Dalam perjanjian internasional, pihak-pihak dinyatakan secara sukarela dan didasarkan pada persamaan kedudukan, serta kepentingan bersama, baik di masa damai maupun perang. Pada umumnya perjanjian ditaati oleh pihak-pihak yang mengadakan perjanjian karena adanya adagium “Pacta Sunt Servanda” (persetujuan antarnegara harus ditaati.
Pengertian perjanjian internasional juga dikemukakan oleh beberapa tokoh atau ahli, antara lain:

a.Oppenheimer - Lauterpacht

     Perjanjian internasional adalah suatu persetujuan antarnegara yang menimbulkan hak dan kewajiban di antara pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.

b.G. Schwarzenberger

     Perjanian internasional sebagai suatu persetujuan antara obyek-obyek hukum internasional yang menimbulkan kewajiban-kewajiban yang mengikat dalam hukum internasional, dapat berbentuk bilateral maupun multilateral. Subyek-subyek hukum dalam hal ini selain lembaga-lembaga internasional juga negara-negara.

c.Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, SH. LL.M.

     Perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu.
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, yang termasuk perjanjian internasional antara lain:

  1. Perjanjian anta Negara-negara;
  2. Perjanjian antara Negara dengan organisasi internasional, misalnya antara Negara Amerika dengan PBB mengenai status hukum tempat kedudukan tetap PBB di New York;
  3. Perjanjian aantara organisasi internasional dengan organisasi internasional lainnya;

d.Konferensi Wina 1969

     Perjanjian internasional adalah perjanjian yang dilakukan oleh dua negara atau lebih, yang bertujuan untuk mengadakan akibat-akibat hukum tertentu. Tegasnya perjanjian internasional mengatur perjanjian antar negara saja selaku subyek hukum internasional

e.Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000

     Perjanjian internasional yaitu perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.

Penggolongan Perjanjian Internasional

a.Penggolongan Menurut Subyeknya

  1. Perjanjian antarnegara, misalnya antara negara Indonesia dengan negara Malaysia
  2. Perjanjian antarnegara dengan subyek hukum internasional lainnya, misalnya antara negara Indonesia dengan ASEAN
  3. Perjanjian antara sesame subyek hukum internasional lain selain negara, misalnya antara ASEAN dengan MEE

b.Penggolongan Menurut Isinya

     Perjanjian internasional dapat mencakup berbagai bidang sebagai berikut.

  1. Politis, misalnya pakta pertahanan, pakta perdamaian;
  2. Ekonomi, misalnya bantuan ekonomi, bantuan keuangan dan perjanjian perdagangan
  3. Hukum, misalnya perjanjian ekstradisi;
  4. Batas wilayah, misalnya batas ZEE, landas kontinen;
  5. Kesehata, misalnya karantina dan Sars

c.Penggolongan Menurut Fungsinya

  1. Perjanjian yang membentuk hukum (law making treaties) yaitu suatu perjanjian yang meletakkan kaidah-kaidah hukum bagi masyarakat internasional secara keseluruhan. Perjanjian ini bersifat multilateral dan terbuka bagi pihak ketiga. Contoh: Konvensi Wina Tahun 1958 tentang hubungan diplomatik
  2. Perjanjian yang bersifat khusus (treaty contract), yaitu perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi pihk-pihak yang mengadakan perjanjian saja. Biasanya bersifat bilateral. Contoh: Perjanjian republik Indonesia dengan RRC mengenai dwikewarganegaraan
d.Penggolongan Menurut Jumlah Pihak Pihak yang Mengadakan Perjanjian

  1. Perjanjian Bilateral, yaitu perjanjian yang dilakukan oleh dua negara
  2. Perjanjian Multilateral, yaitu perjanjian yang dilakukan oleh lebih dua negara/ banyak negara.

e.Penggolongan Menurut Bentuknya

  1. Perjanjian antar kepala negara (head of state form)
  2. Perjanjian antar pemerintah (intergovernmental form)
  3. Perjanjian antar menteri (interdepartemental form)

f.Penggolongan Menurut Proses/ Tahapan Pembentukannya

  1. Perjanjian yang bersifat penting yang dibuat melalui tiga tahap,yaitu proses perundingan, penandatanganan. dan ratifikasi.
  2. Perjanjian yang bersifat sederhana yang dibuat melalui dua tahap, yaitu perundingan dan penandatanganan.Biasanya digunakan kata persetujuan atau agreement.
  3. Tahap-tahap (Proses) Pembuatan Perjanjian Internasional

     Proses pembuatan perjanjian internasional biasanya diatur oleh konstitusi/ undang-undang dasar atau hukum kebiasaan masing-masing negara. Oleh karena itu dengan sendirinya tidak ada keseragaman antara negara yang satu dengan negara yang lainnya. Berdasarkan praktek dari berbagai negara terdapat dua macam proses pembuatan perjanjian internasional, yaitu;

a.Proses yang melaui dua tahap

  1. Perundingan (negotiation)
  2. Penandatanganan (signature)

b. Proses yang melalui tiga tahap

  1. Perundingan (negotiation)
  2. Penandatanganan (signature)
  3. Pengesahan (ratification)

     Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 pasal 6, pembuatan perjanjian internasional dilaksanakan melalui tahap-tahap :

  1. Penjajakan
  2. Perundingan
  3. Perumusan naskah
  4. Penerimaan
  5. Penandatanganan

     Dalam Konvensi Wina tahun 1969, tentang Hukum Perjanjian Internasional disebutkan bahwa dalam pembuatan perjanjian internasional baik bilateral maupun multilateral dapat dilakukan melakukan tahap-tahap:

a.Perundingan (negotiation)

     Perundingan merupakan tahap awal proses pembuatan perjanjian internasional, yang dimaksudkan untuk mencapai suatu kesepakatan antara pihak-pihak melalui wakil-wakilnya yang ditunjuk untuk m,engadakan perundingan.

     Menurut tatacara yang berlaku yang dapat mewakili perundingan adalah kepala negara, menteri luar negeri atau wakil diplomatiknya. Dapat juga diwakili orang lain yang mendapat surat kuasa penuh (full power). Perundingan ini dapat dilakukan dalam acara resmi maupun tidak resmi. Cara ini sering disebut dengan istilah “corridor talk” atau “lobbying” misalnya secara informal di waktu-waktu istirahat saling bertukar pikiran, saling mempengaruhi dan lain-lain.

b.Penandatanganan (Signature)

     Bagi traktat yang harus diratifikasi( melalui tiga tahap), penandatanganan hanya memberikan arti bahwa utusan-utusan telah menyetujui teks dan bersedia menerima, serta akan meneruskannya kepada pemerintah yang berhak menolak atau menerima traktat itu. Sehingga dapat dikatakan bahwa penandatanganan ini masih bersifat sementara dan masih harus disahkan oleh badan yang berwenang di negaranya.

     Namun bagi perjanjian yang melalui dua tahap, setelah penandatanganan dilakukan, perjanjian itu telah berlaku sehingga memiliki kekuatan mengikat bagi negara-negara yang mengadakan perjanjian.

     Untuk perjanjian yang bersifat multilateral, penandatangan teks perjanjian sudah dianggap sah jika 2/3 suara peserta yang hadir memberikan suara, kecuali ditentukan lain.

c.Pengesahan (ratification)

     Perkataan ratifikasi berasal dari bahasa latin ratificare (pengesahan), sedangkan dalam bahasa Inggris sama dengan confirmation ( penegasan /pengesahan). Berdasarkan Konvensi Wina tahun 1969 ratifikasi adakah perbuatan negara yang dalam taraf internasional menetapkan persetujuannya untuk terikat pada suatu perjanjian internasional yang sudah ditandatangani perutusannya. Pelaksanaannya tergantung pada hukum nasional negara yang bersangkutan. Undang-Undang No 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian internasional membedakan pengertian antara ratifikasi dan pengesahan. Pengesahan adalah perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional dalam bentuk ratifikasi(ratification), aksesi(accession), penerimaan(acceptance), dan penyetujuan(approval). Jadi menurut UU ini, ratifikasi merupakan bagian dari pengesahan. Pemerintah Indonesia akan mengesahkan suatu perjanjian internasional sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian internasional tersebut. Ratifikasi mempunyai dua arti pokok, yaitu:

  1. Persetujuan secara formal terhadap perjanjian yang melahirkan kewajiban-kewajiban internasional setelah ditandatangani.
  2. Persetujuan terhadap rencana perjanjian itu agar supaya menjadi suatu perjanjian yang berlaku bagi masing-masing negara peserta.

     Tujuan ratifikasi adalah memberikan kesempatan kepada negara-negara guna mengadakan peninjauan serta pengamatan yang seksama apakah negaranya dapat diikat oleh perjanjian tersebut.

Adapun dasar pembenaran adanya ratifikasi antara lain:

  1. Bahwa negara berhak meninjau kembali hasil perundingan perutusannya sebelum menerima kewajiban yang ditetapkan dalam perjanjian internasional yang bersangkutan.
  2. Negara tersebut mungkin memerlukan penyesuaian hukum nasionalnya terhadap ketentuan-ketentuan yang diperjanjikan.

     Namun demikian hukum internasional tidak mewajibkan negara yang perutusannya telah menandatangani hasil perundingan, baik menurut hukum maupun moral untuk meratifikasi perjanjian tersebut. Tidak adanya kewajiban tersebut karena setiap negara adalah berdaulat.

     Dalam pelaksanaannya, ratifikasi perjanjian internasional dapat dibedakan menjadi 3 sistem, yaitu;

  1. Sistem ratifikasi yang semata-mata dilakukan oleh badan eksekutif. Sistem ini biasa dilakukan oleh raja-raja absolute dan pemerintahan otoriter.
  2. Sistem ratifikasi yang semata-mata dilakukan oleh badan legislative. Cara ini jarang digunakan.
  3. Sistem campuran yang dilakukan oleh badan eksekutif dan legislative (Pemerintah dan DPR). Sistem ini paling banyak digunakan karena peranan legislative dan eksekutif sama-sama menentukan dalam proses ratifikasi suatu perjanjian internasional.

     Dalam Konvensi Wina tahun 1969, pasal 24 disebutkan bahwa berlakunya sebuah perjanjian internasional adalah sebagai berikut:

  1. Pada saat sesuai dengan yang ditentukan dalam naskah perjanjian tersebut.
  2. Pada saat peserta perjanjian mengikat diri dengan perjanjian tersebut bila dalam naskah tidak disebutkan saat berlakunya. Persetujuan untuk mengikat diri dapat dilakukan dengan berbagai cara tergantung pada persetujuan mereka. Misalnya dengan penandatanganan, ratifikasi, pernyataan turut serta (accession) ataupun pernyataan menerima(acceptance) dan dapat juga dengan pertukaran naskah yang telah ditandatangani.

     Di Indonesia, pelaksanaan ratifikasi didasarkan pada landasan yuridis konstitusional UUD 1945 pasal 11 yang berbunyi sebagai berikut:

  1. Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain
  2. Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan kebutuhan keuangan negara dan mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan DPR.
  3. Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan Undang-undang.

     Lebih lanjut disebutkan dalam pasal 10 UU No 24 Tahun 2000, pengesahan perjanjian dilakukan dengan undang-undang apabila berkenaan dengan:

  1. Masalah politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan.
  2. Perubahan batas wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia
  3. Kedaulatan atau hak berdaulat negara.
  4. Pembentukan kaidah hukum baru, atau
  5. Pinjaman dan atau hibah luar negeri.

     Pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk seperti dimaksud dalam pasal 10 UU No 24 Tahun 2000 dilakukan dengan keputusan presiden.

     Berikut ini beberapa contoh yang dapat dikemukakan dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia.

  1. Persetujuan Indonesia dengan Belanda mengenai penyerahan Irian Barat (sekarang Irian Jaya). Karena pentingnya materi yang diatur dalam agreement tersebut maka dianggap sama dengan treaty. Sebagai konsekuensinya, presiden memerlukan persetujuan DPR dalam bentuk pernyataan pendapat.
  2. Persetujuan Indonesia dengan Australia mengenai garis batas wilayah antara Indonesia dengan Papua New Guinea yang ditandatangani di Jakarta 12 Februari 1973 dalam bentuk agreement. Namun karena pentingnya materi yang diatur dalam agreement tersebut maka pemgesahannya memerlukan persetujuan DPR dan dituangkan dalam bentuk undang-undang
  3. Persetujua garis batas landas kontinen antara Indonesia dengan Singapura tentang selat Singapura, 25 Mei 1973. Sebenarnya materi persetujuan ini cukup penting, namun dalam pengesahannya tidak meminta persetujuan DPR melainkan dituangkan dalam bentuk keputusan presiden.

Berlakunya Perjanjian Internasional

     Perjanjian internasional mulai berlaku pada saat peristiwa berikut :

  1. Mulai berlaku sejak tanggal yang ditentukan atau menurut yang disetujui oleh negara-negara perunding.
  2. Jika tidak ada ketentuan atau persetujuan, perjanjian mulai berlaku segera setelah perjanjian diikat dan dinyatakan oleh semua negara perunding.
  3. Bila persetujuan suatu negara untuk diikat oleh perjanjian timbul setelah perjanjian itu berlaku, maka perjanjian mulai berlaku bagi negara itu pada tanggal tersebut, kecuali bila perjanjian menentukan lain.
  4. Ketentuan-ketentuan yang mengatur pengesahan teks, pernyataan persetujuan,suatu negara untuk diikat oleh suatu perjanjian, cara dan tanggal berlakunya, persyaratan, fungsi-fungsi penyimpanan, dan masalah-masalah lain yang timbul sebelum berlakunya perjanjian itu, berlaku sejak saat disetujuinya teks perjanjian itu.

     Menurut pasal 3 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000, Pemerintah Republik Indonesia mengikatkan diri pada perjanjian internasional melalui cara-cara sebagai berikut :

  1. Penandatanganan;
  2. Pengesahan;
  3. Pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik;
  4. Cara-cara lain sebagaimana disepakati para pihak dalam perjanjian internasional.

Pembatalan Perjanjian Internasional

     Berdasrkan Konvensi Wina 1969 karena berbagai alasan suatu perjanjian dapat batal, antara lain :

  1. Negara peserta atau wakil kuasa penuh melanggar ketentuan hukum nasionalnya
  2. Adanya unsur kesalahan (error) pada saat perjanjian itu dibuat.
  3. Adanya unsur penipuan dari negara peserta tertentu terhadap negara peserta lain pada waktu pembentukan perjanjian.
  4. Adanya unsur penyalahgunaan/kecurangan(corruption) melalui kelicikan atau penyuapan.
  5. Adanya unsur paksaan terhadap wakil suatu negara peserta.
  6. Bertentangan dengan suatu kaidah dasar hukum internasional umum.

Berakhirnya Perjanjian Internasional

     Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, SH dalam bukunya Pengantar Hukum Internasional mengatakan bahwa suatu perjanjian berakhir apabila:

  1. Telah tercapainya tujuan perjanjian.
  2. Masa berlakunya perjanjian internasional sudah habis.
  3. Salah satu pihak peserta perjanjian internasional menghilang, atau punahnya obyek perjanjian internasional.
  4. Adanya persetujuan dari para peserta untuk mengakhiri perjanjian.
  5. Adanya perjanjian baru antara peserta yang kemudian meniadakan perjanjian yang terdahulu
  6. Syarat-syarat tentang pengakhiran perjanjian sesuai dengan ketentuan perjanjian sudah terpenuhi.
  7. Perjanjian secara sepihak diakhiri oleh salah satu peserta dan pengakhiran itu diterima pihak lain.

Berdasarkan pasal 18 UU No 24 Tahun 2000, perjanjian internasional berakhir apabila:

  1. Terdapat kesepakatan para pihak melalui prosedur yang ditetapkan dalam perjanjian;
  2. Tujuan perjanjian tersebut telah selesai
  3. Terdapat perubahan yang mendasar yang mempengaruhi pelaksanaan perjanjian;
  4. Salah satu pihak tidak melaksanakan atau melanggar perjanjian internasional;
  5. Dibuat suatu perjanjian baru yang menggantikan perjanjian lama;
  6. Muncul norma-norma baru dalam hukum internasional;
  7. Obyek perjanjian hilang;
  8. Terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional.
     Sekian ulasan saya mengenai Perjanjian Internasional, mulai dari pengertian perjanjian Internasional, penggolongan perjanjian Internasional, berlakunya perjanjian Internasional, pembatalan perjanjian Internasional serta berakhirnya perjanjian Internasional. Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar