Hubungan Bahasa dan Dialek
Bahasa yang digunakan dalam kehidupan manusia mengandung beragam dialek. Dialek tersebut memiliki variasi yang beragam. Variasi tersebut di antaranya ada yang berkaitan dengan aktivitas. M. Ramlan dan kawan-kawan membagi ragam bahasa Indonesia menjadi sebagai berikut:
- Ragam berdasarkan tempat misalnya dialek Jakarta, dialek Menado, dialek Jawa, dialek Minangkabau dan sebagainya.
- Ragam bahasa berdasarkan penutur terbagi menjadi ragam golongan cedekiawan dan ragam golongan bukan cendekiawan.
- Ragam bahasa berdasarkan sarana terbagi menjadi ragam lisan dan ragam tulisan.
- Ragam bahasa berdasarkan bidang penggunaan terbagi menjadi ragam ilmu, ragam sastra, ragam surat kabar, ragam undang-undang, dan lain-lain.
- Ragam bahasa berdasarkan suasana penggunaan, terbagi menjadi ragam resmi dan ragam santai.
Bahasa yang digunakan oleh penutur bahasa sangat dipengaruhi oleh konteks sosial budaya yang melingkunginya. Konteks budaya tersebut bergantung pula pada status sosial, aktivitas, daerah geografis, usia, gender, dan masih banyak lagi. Masyarakat bahasa yang berada di wilayah perkotaan sangat berbeda di dalam penggunaan bahasanya dengan masyarakat bahasa yang berada di daerah pedesaan. Hal ini disebabkan oleh konteks sosial budaya yang menyertai di dalam kehidupan masyarakat bahasa tersebut.
Seorang pelajar yang tinggal di kota Surabaya akan memiliki dialek yang berbeda dengan seorang pelajar yang tinggal di daerah pedesaan di pinggiran kota Surabaya. Meski keduanya adalah seorang yang berpendidikan, namun gaya bahasa atau dialek yang digunakan akan jauh berbeda.
Dua penutur bahasa yang berbeda jenis kelamin yang memiliki profesi sebagai kapster salon akan menggunakan dialek yang berbeda. Kapster salon pria cenderung akan menggunakan bahasa gaul yang saat ini sedang tren digunakan; misalnya sutralah ’sudahlah’, Sementara itu kapster perempuan, meski jarang menggunakan ragam bahasa seperti itu, namun sedikit-sedikit juga menggunakannya. Persentase pemakaian bahasa gaul yang umumnya banyak digunakan oleh para banci seperti itu lebih sedikit digunakan oleh kapster perempuan.
Di daerah Yogyakarta juga dikenal dengan basa walikan. Basa walikan adalah transkripsi dari huruf ha, na, ca.ra. ka yang terdiri dari empat baris itu kemudian dipasangkan. Baris kesatu dengan baris ketiga, dan baris kedua dengan baris keempat. Misalnya kata ”mari” menjadi dayi. Kata-kata dalam basa walikan tersebut umumnya digunakan oleh pelajar lelaki dibandingkan pelajar perempuan atau banyak digunakan oleh mahasiswa dibandingkan oleh mahasiswi.
Seorang eksekutif muda akan menggunakan ragam bahasa atau dialek yang berbeda dibandingkan tukang parkir. Hal tersebut dangat dipengaruhi oleh aktivitas kesehariannya di tempat kerja. Eksekutif muda terbiasa dengan rapat, presentasi, melakukan lobi, bisnis, dan lain sebagainya; adapun tukang parkir hanya melakukan aktivitas memandu kendaraan pada arah yang tepat. Akibatnya penggunaan bahasanya pun akan jelas jauh berbeda.
Dialek Banyumasan
Dialek ini sering disebut Bahasa Ngapak Ngapak yaitu kelompok bahasa bahasa Jawa yang dipergunakan di wilayah Banyumas, Jawa Tengah. Bahkan beberapa kosakata dan dialeknya juga dipergunakan di Banten utara serta daerah Cirebon-Indramayu. Logat bahasanya agak berbeda dibanding dialek bahasa Jawa lainnya karena bahasa Banyumasan masih berhubungan erat dengan bahasa Jawa Kuno (Kawi). Jumlah penutur dialek ini antara 12–15 juta orang.
Bahasa Banyumasan terkenal dengan cara bicaranya yang khas. Seorang ahli bahasa Belanda, E.M. Uhlenbeck, mengelompokkan dialek-dialek yang dipergunakan di wilayah barat dari Jawa Tengah sebagai kelompok (rumpun) bahasa Jawa bagian barat (Banyumasan, Tegalan, Cirebonan dan Banten Utara). Kelompok lainnya adalah bahasa Jawa bagian tengah (Surakarta, Yogyakarta, Semarang dan lain-lain) dan kelompok bahasa Jawa bagian timur.
Kelompok bahasa Jawa bagian barat berbeda dengan bahasa Sunda. Dibandingkan dengan bahasa Jawa dialek Yogyakarta dan Surakarta, dialek Banyumasan banyak sekali bedanya. Perbedaan yang utama yakni akhiran ’a’ tetap diucapkan ’a’ bukan ’o’. Jika di Solo orang makan sego’ (nasi), di wilayah Banyumasan orang makan ’sega’. Selain itu, kata-kata yang berakhiran huruf mati dibaca penuh, misalnya kata enak oleh dialek lain bunyinya ena, sedangkan dalam dialek Banyumasan dibaca enak dengan suara huruf ’k’ yang jelas, itulah sebabnya bahasa Banyumasan dikenal dengan bahasa Ngapak atau Ngapak-ngapak.
Perkembangan bahasa Banyumasan antara lain sebagai berikut:
- Abad ke-9 - 13 sebagai bagian dari bahasa Jawa Kuno.
- Abad ke-13 - 16 berkembang menjadi bahasa Jawa abad pertengahan.
- Abad ke-16 - 20 berkembang menjadi bahasa Jawa baru.
- Abad ke-20 - sekarang, sebagai salah satu dialek bahasa Jawa modern.
Tahap-tahapan perkembangan tersebut sangat dipengaruhi oleh munculnya kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa. Terdapat empat sub-dialek utama dalam bahasa Banyumasan, yaitu Wilayah Utara (Tegalan), Wilayah Selatan (Banyumasan), Wilayah Cirebon - Indramayu (Cirebonan) dan Banten Utara.
a.Wilayah Utara
Dialek Tegalan dituturkan di wilayah utara, antara lain Tanjung, Ketanggungan, Larangan, Brebes, Slawi, Moga, Pemalang, Surodadi dan Tegal.
b.Wilayah Selatan
Dialek ini dituturkan di wilayah selatan, antara lain Bumiayu, Karang Pucung, Cilacap, Nusakambangan, Kroya, Ajibarang, Purwokerto, Purbalingga, Bobotsari, Banjarnegara, Purwareja, Kebumen serta Gombong.
c.Cirebon Indramayu
Dialek ini dituturkan di sekitar Cirebon, Jatibarang dan Indramayu. Secara administratif, wilayah ini termasuk dalam Provinsi Jawa Barat.
d.Banten Utara
Dialek ini dituturkan di wilayah Banten utara yang secara administratif termasuk dalam Provinsi Banten.
Sekian ulasan saya mengenai hubungan bahasa dan dialek serta dialek Banyumasan. semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar