Senin, 11 Mei 2015

Kebijakan Kolonial VOC di Indonesia

Kebijakan Kolonial VOC di Indonesia


     Setelah bangsa Belanda berhasil menanamkan kekuasaan perdagangan dan ekonomi di Indonesia maka pada tanggal 20 Maret 1602 Belanda membentuk kongsi dagang VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) yang dianjurkan oleh Johan van Olden Barnevelt yang mendapat izin dan hak istimewa dari Raja Belanda.

     Alasan pendirian VOC adalah adanya persaingan di antara pedagang Belanda sendiri, adanya ancaman dari komisi dagang lain, seperti (EIC) Inggris, dan dapat memonopoli perdagangan rempah-rempah di Indonesia. Untuk mendapatkan keleluasaan usaha di Indonesia, VOC memiliki hak oktroi, yaitu hak istimewa. 


     Akan tetapi, VOC harus tetap tunduk kepada pemerintah di Negara Belanda. Adapun tujuan mendirikan VOC adalah menghindari persaingan dagang antarpenguasa Belanda, mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, dan bersaing dengan bangsa lain.

     Hak oktroi VOC meliputi:

  1. hak monopoli perdagangan,
  2. hak memiliki tentara,
  3. hak mengadakan perjanjian dengan raja-raja di Indonesia,
  4. hak mencetak uang,
  5. hak untuk mengumumkan perang, dan
  6. hak mendirikan benteng.

     Di samping itu, VOC juga melakukan pelayaran Hongi, yakni misi pelayaran Belanda yang ditugasi mengawasi, menangkap, dan mengambil tindakan terhadap para pedagang dan penduduk pribumi yang dianggapnya melanggar ketentuan perdagangan Belanda. 

     Pada saat itu, produksi rempah-rempah di Maluku meningkat hingga kelebihan produksi. Untuk itu, VOC mendapat hak eksterpasi, yakni hak untuk menebang tanaman rempah-rempah yang dianggap kelebihan jumlahnya dengan tujuan untuk menstabilkan harga (harga rempah-rempah tetap tinggi). VOC juga mendapat hak memungut pajak yang disebut:

a.Verplichte Leverantie, yaitu kewajiban bagi raja pribumi untuk membayar pajak hasil bumi kepada Belanda;
b.Contingenten, yaitu pajak sewa tanah yang harus dibayar rakyat dengan hasil bumi.

     Pengurus VOC semula hanya 60 orang, tetapi dianggap terlalu banyak sehingga diadakan pemilihan pengurus dan hanya tinggal 17 orang yang diambil dari beberapa kota. Mereka yang terpilih menjadi pengurus disebut Dewan 17 (De Heeren Seventien atau Tuan-Tuan 17) dan ketika VOC banyak urusannya maka Dewan 17 mengangkat Gubernur Jenderal (Raad van Indie) Pieter Both pada tahun 1610. Ia adalah Gubernur Jenderal VOC yang pertama di Indonesia.

     Usaha VOC semakin berkembang pesat (1623) dan berhasil menguasai rempah-rempah di Ambon dalam peristiwa Ambon Massacre. Selanjutnya tahun 1641, VOC berhasil merebut Malaka dari tangan Portugis. VOC selalu menggunakan Batigslot Politiek (politik mencari untung, 1602-1799) dengan memegang monopoli Belanda di Indonesia. Selain itu, VOC menjalankan politik devide et impera, yakni sistem pemecah belah di antara rakyat Indonesia.

     VOC mampu menguasai Indonesia pada masa itu disebabkan oleh:

  1. VOC adalah organisasi dagang yang tertib dan para pengurusnya bekerja keras sehingga maju dengan pesat,
  2. banyak kerajaan di Indonesia yang mudah dikuasai VOC karena politik adu domba, dan
  3. para pedagang di Nusantara belum memiliki kesatuan dan persatuan yang kuat.

Bukti Politik Adu Domba VOC

     Ada beberapa bukti politik adu domba VOC yang berhasil menguasai kerajaan Nusantara.


  1. VOC berhasil membantu Sultan Haji dalam merebut Banten dari tangan Sultan Ageng Tirtayasa.
  2. Dalam permusuhan antara Aru Palaka (Raja Bone) dan Hasanuddin (Sultan Makassar), VOC membantu Aru Palaka sehingga terjadilah Perjanjian Bongaya yang menyebabkan Makassar jatuh ke tangan VOC.
  3. VOC berhasil memecah belah Mataram menjadi tiga: kasunanan, kesultanan, dan mangkunegaran.

Penyebab Kemunduran VOC

     Perjalanan kongsi dagang VOC lama kelamaan mengalami kemunduran, bahkan VOC runtuh pada tanggal 31 Desember 1799. Kemunduran VOC disebabkan hal-hal berikut:

  1. Perang-perang yang dilakukan membutuhkan biaya yang besar padahal hasil dari bumi Indonesia telah terkuras habis dan kekayaan Indonesia sudah telanjur terkirim ke negeri Belanda. VOC tidak kuat lagi membiayai perang-perang tersebut.
  2. Kekayaan menyebabkan para pegawai VOC melupakan tugas, kewajiban, dan tanggung jawab mereka terhadap pemerintah dan masyarakat. Untuk lebih memperkaya diri, mereka melakukan tindak korupsi. Merajalelalah korupsi di Indonesia maupun di negeri Belanda.
  3. Terjadinya jual beli jabatan. Seorang VOC yang ingin pulang ke negerinya karena sudah terlampau kaya atau pensiun dapat menjual jabatannya kepada orang lain dengan harga tinggi. Hal ini akan menjadi sistem suap yang merajalela.
  4. Tumbuhnya tuan-tuan tanah partikelir. Pemerintah yang kekurangan biaya untuk membiayai pemerintahannya dan perang terpaksa menjual tanah-tanah yang luas kepada orang-orang partikelir dengan hak pertuanan.
  5. Kekurangan biaya tersebut tidak dapat ditutup dengan hasil penjualan tanah saja, VOC harus juga mencari pinjaman. Akibatnya, utang VOC semakin besar.
  6. Pada akhir abad ke-18, VOC tidak mampu lagi memerangi pedagang-pedagang Eropa lainnya (Inggris, Prancis, Jerman) yang dengan leluasa berdagang di Nusantara sehingga monopoli VOC hancur.

     Keberadaan VOC sudah tidak dapat dipertahankan lagi sehingga harta milik dan utang-utangnya diambil alih oleh pemerintah negeri Belanda. Pemerintah kemudian membentuk Komisi Nederburg untuk mengurusinya, termasuk mengurusi wilayah VOC di Indonesia (1800-1907).

     Sekian ulasan Saya mengenai kebijakan kolonial VOC di Indonesia, bukti politik adu domba VOC serta penyebab kemunduran VOC. Semoga bermanfaat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar