Rabu, 11 Maret 2015

Perbedaan Sastra dan non Sastra

Perbedaan Sastra dan non Sastra


     Karya sastra adalah cermin hati manusia. Ia dilahirkan untuk menjelaskan eksistensi manusia, dan memberi perhatian besar terhadap dunia realitas sepanjang zaman. Karena itu, sastra yang telah dilahirkan diharapkan akan memberikan kita kepuasan estetik dan intelektual. Tapi sampai sejauh ini saya masih terus bertanya, apa sih sasatra? Apa pula karya sastra? Para pegiat sastra memberikan kemudahan pemahaman bahwa kita bisa lebih mudah membedakan mana suatu karya sastra dan mana pernyataan-pernyataan yang bersifat faktual, berita atau juga opini. Kita bisa lebih mudah menemukan perbedaannya ketika membaca tulisan artikel di media massa dan ketika membaca sebuah cerpen. Di sana, kita bisa membandingkan ungkapan-ungkapan yang bersifat denotatif yang memberikan arti dasar suatu kata (makna tersurat), dan yang bersifat konotatif yang memberikan nuansa khusus (makna tersirat).

     Bahasa yang dipakai dalam artikel di media massa menekankan hal-hal yang bersifat tekhnis, seperti data, fakta, bukti, sumber primer dan contoh. Sedangkan cerpen, misalnya, menggambarkan nuansa-nuansa perasaan dan pikiran yang tidak bisa diwakili oleh angka dan statistik. Karya sastra menyampaikan “pemahaman” tentang kehidupan dengan caranya sendiri. Beberapa ahli sepakat melihat sastra sebagai “seni bahasa”, yani cabang seni yang menggunakan  bahasa sebagai mediumnya (dalam hal ini bisa dibandingkan dengan seni musik yang mengolah bunyi; seni tari yang mengolah gerak dan seni rupa yang mengolah bentuk dan warna). Sastra telah “menyampaikan suatu jenis pengetahuan yang tidak bisa disampaikan dengan cara yang lain”, yakni memberikan kenikmatan yang unik dan pengetahuan yang memperkaya wawasan pembacanya. Sastra merupakan hasil kebudayaan yang diciptakan dengan menggunakan bahasa sebagai media utamanya untuk mencapai keindahan dan kehalusan rasa.

     Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sastra atau kesusastraan adalah karya tulis, yang jika dibandingkan dengan tulisan lain, memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya; ragam sastra yang umum dikenal ialah roman, cerita pendek, drama, epik dan lirik (Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990: 786).

     Sastra selalu berubah dari zaman ke zaman. Kita bisa memahami bahwa perbedaan antara sastra dan bukan sastra bisa relatif. Ya, sastra selalu berubah dari zaman ke zaman karena sastrawan secara kreatif selalu mengubah batas-batas sastra yang sudah diterima di masyarakat. Hal ini juga berkaitan dengan perkembangan masyarakat dan terkait dengan konteks budaya. Kemudian kita akan tahu bahwa sastra bergerak diantara konvensi dan inovasi, dinamikanya berjalan diantara suatu “kesepakatan yang sudah diterima orang banyak” (sudah menjadi tradisi) dan kemungkinan untuk berubah. Yang paling mendasar dalam konvensi adalah penggolongan teks sastra menjadi tiga, yakni genre prosa, puisi dan drama. Masing-masing genre bisa dibagi lagi menjadi sub-sub genre.

     Meskipun kemudian salah satu genre saja sudah menjadi beberapa cabang genre karena perbedaan tema dan perkembangan zaman, tapi perbedaan itu bermuara dari proses kreatif yang hadir disebabkan oleh keinginan untuk mengungkapkan hal yang sama, yaitu: kegelisahan. Ya, bagaimanapun juga, karya sastra sesungguhnya lahir dari kegelisahan. Kegelisahan pada misteri, kondisi sosial, kegelisahan pada kerinduan dan keterpesonaan terhadap sesuatu, dan lainnya. Dalam buku Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan (2004), Ignas Kleden menyebutkan tiga kegelisahan sastrawan dalam menciptakan karya sastra. Pertama, kegelisahan politik, yang mencerminkan hubungan antara manusia dengan manusia lainnya dalam sebuah struktur sosial. Kedua, kegelisahan metafisik, yakni hubungan manusia dengan alam semesta. Ketiga, kegelisahan eksistensial, yang menggambarkan sastrawan menghadapi dan mencoba menyelesaikan persoalan dirinya sendiri. Jauh sebelum ini, dalam sebuah diskusi di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada 1982, Kuntowijoyo pernah menyebutkan adanya kegelisahan transendental, yakni hubungan manusia dengan sang pencipta, yang menitik beratkan pada makna di balik kata, sehingga karya sastra yang dihasilkan tidak melulu menonjolkan keindahan, melainkan dapat berarti bagi kemanusiaan dan peradaban. Sastra yang demikian dinamakan sastra transendental oleh Kuntowijoyo (Kleden, 2004: 265-267; Kuntowijoyo, 1984: 154-158).
Dalam Ars Poetica, seorang pemikir Romawi Horatius menulis istilah dulce et utile untuk menyebut fungsi sastra. Artinya, sastra mempunya fungsi ganda, yakni menghibur dan sekaligus bermanfaat bagi pembacanya. Sastra dapat menghibur dengan menyajikan keindahan, memberikan makna terhadap kehidupan (kematian, kesengsaraan, maupun kegembiraan), atau memberikan pelepasan ke dunia imajinasi. Bagi banyak orang, karya sastra menjadi sarana untuk menyampaikan pesan tentang kebenaran, tentang apa yang baik dan buruk. Karya sastra dipakai untuk menggambarkan apa yang ditangkap sang pengarang tentang kehidupan di sekitarnya. Sastra ibarat “potret” atau “sketsa” kehidupan. Kemampuan sastra dalam menyampaikan  pesan menempatkannya juga menjadi sarana kritik sosial.

     Konon, fungsi sastra yang lain adalah menjadikannya semacam medium katarsis: pelepasan emosi saat badai masalah tumpah ruah dalam pikiran si penulis, bertumpuk-tumpuk, bersilangan, yang membebani dan membuat ruang piker dan rasa kita terasa sempit. Sastra dapat melepaskan separuh beban itu. Bagi Kaum Romantik, sastra (puisi) adalah limpahan perasaan yang meluap yang timbul dari renungan dalam kegelisahan. Mereka mengusung pengungkapan perasaan yang terdalam, luapan emosi yang spontan, dan ketulusan hati dalam mengangkat nilai-nilai kemanusiaan.

     Dalam soal ini, Abdul Wachid B.S. secara eksplisit mengemukakan dalam buku kumpulan esai sastranya berjudul “Sastra Pencerahan” (2005) bahwa sastra berfungsi sebagai media perlawanan terhadap slogan omong-kosong tentang sosial kemasyarakatan. Setiap fungsi bisa dinamis tergantung ragam kegelisahan yang ada pada setiap diri penulis. Ragam kegelisahan yang sebenarnya bisa hadir dalam berbagai bentuk karya sastra.

Hubungan antara sastra, sosial dan budaya

     Obyek sastra bisa muncul dari dalam diri sastrawan sendiri atau dari luar, bisa berbentuk sebuah kritikan, emosi, informasi, pembelajaran dan lain-lainnya. Seperti yang dikatakan oleh Mahmud Stanie bahwa unsur pembangun sastra (obyek sastra) banyak sekali, bisa dari budaya dimana sastrawan itu tinggal, atau kebudayaan orang lain dimana sastrawan mendapatkan inspirasi darinya. Cara berfikir, tempat tinggal, budaya, geografis dan politik bisa memunculkan berbagai corak sastra. Makanya obyek sastra atau unsur pembangun sastra bisa dikatakan ada dua secara garis besarnya, yaitu intrinsik (unsur dalam) dan ekstrinsik (unsur dari luar). Maksud dari unsur intrinsik adalah bahwa obyek pembangun sastra ada pada diri sastrawan sendiri, di mana semua ide, gagasan dan khayalan keluar dari dalam diri sastrawam. Seperti ketika seseorang menulis sebuah novel yang diambil dari kisah perjalanan kehidupan sendiri atau dari buku hariannya, maka obyek sastra yang diambil adalah dirinya sendiri.

     Berbeda dengan ketika ada seseorang menulis sebuah sajak yang diambil dari cerita orang lain atau menceritakan orang lain, seperti sajak dari W. S. Rendra Paman Doblang, Rendra menceritakan tentang seorang yang dipenjara oleh penguasa yang diktator, ia ingin menceritakan tentang seorang penguasa yang diktator. Unsur yang ini dinamakan unsur ekstrinsik. “Sastra adalah cerminan dari kehidupan dari pernik-perniknya sampai yang besar”, kata Dr. Syafiq Abdur Razaq Abi Sa’dah dosen fakultas bahasa Arab universitas al-Azhar.

     Dari kedua unsur inilah ide-ide mengalir deras, ide dan gagasan akan datang bersamaan dengan kehidupan manusia dari zaman ke zaman, karena hakekat sastra adalah salinan atau cerminan sebuah kehidupan manusia, makanya benar apa yang dikatakan Plato, bahwa sastra adalah sebuah karya tiruan realitas, yang notebenenya adalah tiruan dari dunia ide.

     Makanya ada benarnya ketika ada seseorang mengatakan bahwa dengan membaca karya sastra, Anda sama dengan melihat dan membaca sebuah kehidupan manusia, bisa dibilang sastra mirip seperti surat kabar, cuma bedanya sastra dihiasi dengan berbagai perhiasan yang menarik. Ada juga yang mengatakan bahwa sastra adalah hasil karya berupa hayalan tingkat tinggi seseorang, dengan mengatakan seperti ini, Anda menyatakan kebenaran apa yang dikatakan oleh Plato, Anda menyetujui dan menyepakatinya, padahal tidak juga. Buktinya adalah tidak semua karya sastra berasal dari hayalan saja, ada juga yang berasal dari dunia realis dan benar-benar ada dalam kehidupan kita.

     Terus apa hubungan budaya dan sastra?, kalau saya bisa mengatakan, sastra muncul dari budaya, sastra juga bagian dari budaya. Begitu juga budaya kadang-kdang bisa tercipta karena budaya. Seperti novelnya Arthur C. Clarke yang berjudul Space Odyssey, Arthur mengkisahkan tentang sebuah komputer yang bisa menerima perintah-perintah manusia, komputer itu juga mampu diajak berbicang-bincang layaknya manusia. Dari novel Arthur ini, para ilmuan hingga saat ini mencoba membuat komputer semisal komputer yang ada di novelnya . Ini yang dinamakan sebuah karya sastra bisa membangun sebuah peradaban dan budaya, dan masih banyak karya sastra lainnya yang semisalnya.
Hubungan sastra dan budaya bisa diibaratkan seperti seekor ayam dan sebutir telur. Kita akan sulit menentukan mana yang dahulu dari keduanya, karena keduanya saling berhubungan dan saling mempengaruhi yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya.
Budaya adalah obyek luar bagi sastra, ia juga bisa memunculkan corak yang bermacam-macam. Corak sastra ini akan muncul bersamaan dengan bermacam-macamnya budaya yang ada di bumi. Seperti budaya China yang membawa corak sastra China dengan peperangan-peperangannya. Juga budaya Arab yang membawa corak sastra Islam. 
Akhirnya sastra adalah karya terbesar, termulia, dan terhebat. Seorang sastrawan adalah seorang pencerita hebat, ia juga termasuk psikolog yang menghubungkan manusia dengan manusia.

     Sastra begitu besar, tidak mungkin manusia untuk mendefinisikannya, karena sastra tidak butuh didefinisikan dan tidak perlu didefinisikan.

Hubungan sastra dan sang Perngarang

     Konteks sosial pengarang adalah yang menyangkut posisi sosial masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca, termasuk di dalamnya faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi diri pengarang sebagai perseorangan di samping mempengaruhi isi karya sastranya. Sastra sebagai cermin masyarakat menelaah sampai sejauh mana sastra dianggap sebagai pencerminan keadaan masyarakat. Fungsi sosial sastra, dalam hal ini ditelaah sampai berapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial, dan sampai seberapa jauh pula sastra dapat berfungsi sebagai alat penghibur dan sekaligus sebagai pendidikan masyarakat bagi pembaca.

     Umar Junus mengemukakan, bahwa yang menjadi pembicaraan dalam telaah sosiologi sastra adalah karya sastra dilihat sebagai dokumen sosial budaya. Ia juga menyangkut penelitian mengenai penghasilan dan pemasaran karya sastra. Termasuk pula penelitian tentang penerimaan masyarakat terhadap sebuah karya sastra seorang penulis tertentu dan apa sebabnya. Selain itu juga berkaitan dengan pengaruh sosial budaya terhadap penciptaan karya sastra, misalnya pendekatan Taine yang berhubungan dengan bangsa, dan pendekatan Marxis yang berhubungan dengan pertentangan kelas. Tak boleh diabaikan juga dalam kaitan ini pendekatan strukturalisme genetik dari Goldman dan pendekatan Devignaud yang melihat mekanisme universal dari seni, termasuk sastra.Sastra bisa dilihat sebagai dokumen sosial budaya yang mencatat kenyataan sosio-budaya suatu masyarakat pada suatu masa tertentu. Pendekatan ini bertolak dari anggapan bahwa karya sastra tidak lahir dari kekosongan budaya. Bagaiamanapun karya sastra itu mencerminkan masyarakatnya dan secara tidak terhindarkan dipersiapkan oleh keadaan masyarakat dan kekuatan-kekuatan pada zamannya.

Sastra dan konteks

     "Pengaruh suaru karya sastra tidak tergantung pada konteks produksinya, tapi lebih pada konteks resepsinya. Maksudnya, pengaruh sebuah karya satra yang bersifat lintas-tempat dan lintas-waktu selalu dimungkinkan karena karya sastra itu pada dasarnya selalu dapat di-dekontekstualisasi dan dapat di-rekontekstualisasi-kan
kembali.

     Konteks memang penting , tetapi bukanlah sesuatu yang statis atau einmalig(hanya bersifat sekali terjadi)

     Teori kontruksi sosial menunjukkan bahwa masyarakat, seperti juga halnya kebudayaan adalah buatan manusia sendiri, yang menciptakan tipe-tipe pengertian dan tipe-tipe tingkah lakukanya yang kemudian dibakukan dalam berbagai pranata sosial. Sebuah karya sastra menjadi unik karena dia mengungkapkan sesuatu tidak saja dengan cara menyatakannya, tetapi juga dengan menyembunyikan"-Ignas Kleden

     Apakah yang membedakan antara sebuah tulisan yang bersifat sastra dari jenis tulisan-tulisan lainnya?

     Perbedaan itu disebabkan oleh jenis-jenis makna yang terdapat dalam sebuah tulisan, yaitu apakah makna itu diproduksikan dalam hubungan sebuah teks dengan kenyataan-kenyataan diluar teks, atau makna itu lahir dalam hubungan internal di dalam teks-teks itu sendiri.

     Dalam ilmu pengetahuan konsep-konsep di susun dengan cara menyingkirkan sebanyak mungkin konotasi dan ambivalensi sehingga tercapai suatu denotasi yangd dapat ditetapkan isi dan batas- batasnya. Sebaliknya, dalam karya sastra, konotasi dimungkinkan, dan ambilvalensi justru diaktifkan untuk menghidupkan watak simbolik sastra, dengan memanfaatkan teknik simbolisasi seperti metafor, alegori, atau cara-cara lainnya.

     Suatu makna tekstual, atau dunia tekstual, adalah suatu makna yang merupakan 'nilai tambah' yang bisa diberikan oleh karya satra, dan tidak bisa diberikan oleh tulisan lmiah

Sastra dan Kritik Sastra

     Kritik Sastra ialah studi sastra yang berusaha menyelidiki karya sastra dengan langsung, menganalisis, menginterpretasi, memberi komentar, dan memberikan penilaian (Pradopo,2002:34-35). Dikatakan Fananie, Kritik sastra itu semacam pertimbangan untuk menunjukkan kekuatan atau kebagusan dan juga kekurangan yang terdapat dalam karya sastra. 

     Kritik membutuhkan teori dan teori sesungguhnya hanya berperan sebagai alat bantu saja, tidak lebih dan tidak kurang. Kemenangan kaum fenomenologi pada kritik sastra ikut memengaruhi selera estetik hingga berdampak pada sistem penilaian, yakni apakah sastra (karya sastra) itu bernilai estetik atau tidak. Jika kita mengikuti pemahaman tradisi hermeneutik modern dan fenomenologis, peran penafsir, pembaca, dan juga kritikus bergerak dari sifat obyektif menuju posisi intersubyektif kemudian menjadi subyektif lagi. Kondisi ini menimbulkan satu pertanyaan bagi kita semua yakni, bagaimanakah posisi teori sastra itu sendiri?

     Kritik sastra pada dasarnya adalah suatu wujud pelipatgandaan dalam bentuk lain dari eksistensian sich karya sastra. Saya lebih cenderung menyebutnya demikian karena di dalam kritik sastra menyarankan akan adanya usaha-usaha, yang secara reflektif dan artikulatif, untuk “menggemakan suara-suara” yang muncul dari karya sastra. Dalam kapasitasnya ini, keberadaan kritik sastra akan berperan menjadi semacam sarana bagi terciptanya suatu dialog yang membuka berbagai ruang kemungkinan untuk (semakin) memahami sebuah karya sastra. Bahkan, akan sangat mungkin, kritik sastra pada akhirnya akan bisa berperan pula untuk memunculkan suatu dialektika dan pengayaan wacana, yang, secara langsung atau tidak, akan semakin menopang kehidupan dunia kesusastraan dalam wilayah cakupan yang lebih luas

     Oleh karena karya sastra sangat kompleks, bahkan mungkin bisa dipandang sebagai “struktur organis” yang pada dasarnya hidup, maka menjadi sangat wajar dan relevan kalaupun kemudian ada yang berpandangan, di samping menggemakan suara-suara yang berada di balik jaringan struktur dan tekstur dalam wilayah otonominya, gema dari sebuah tindak kritik (sastra) akan bisa lebih reflektif dan artikulatif jika melibatkan pula jaringan eksternal, dunia yang berada di sekeliling karya sastra, yang sekaligus juga adalah dunia yang membentuknya. Dengan praktik tindak kritik yang secara total dan bersamaan melibatkan seluruh institusi kompleks penggerak karya sastra ini, harapannya, segala bentuk suara yang muncul di dalam karya sastra pada akhirnya akan bisa menggema secara lebih menyeluruh pula.

     Suatu tindak kritik akan sangat ditentukan oleh kapasitas dan kompetensi yang dimiliki oleh si kritikusnya itu sendiri. Namun, dengan adanya bekal kesadaran akan sikap dan semangat ilmiah pada diri seorang kritikus, yang secara langsung atau tidak hal itu akan bisa memperkuat basik konseptual dan kapasitas dirinya, setidaknya ia pun akan relatif bisa terhindar dari ketergelinciran ketika ia memasuki wilayah kompleks karya sastra, sehingga suara-suara yang muncul kemudian tidak hanya akan menggema sebagai sesuatu yangcommon sense atau bahkan nonsens.

     Dengan cara pandang seperti inilah yang akan saya gunakan untuk mencermati hasil tindak kritik sastra yang dimuat di Khazanah, lembar khusus seni-budaya yang terbit sebagai suplemenH.U. Pikiran Rakyat. Cara pandang seperti ini memang membawa konsekuensi untuk tidak lagi memperhatikan jenis dan bentuk tindak kritik, serta soal “ruang” tempat tindak kritik itu berada. Hanya saja, dalam relevansinya dengan Khazanah sebagai bagian dari produk media massa, soal yang berkenaan dengan “ruang” pada konteks tertentu kiranya akan tetap diajukan sebagai satu wilayah pembahasan; terutama untuk memeriksa kembali apakah media massa—yang bisa dipandang sebagai sesuatu yang tidak bersih dari “kepentingan dan ideologi”— telah melakukan “tindak refresi dan kekerasan” dalam kaitannya dengan ruang-ruang seni dan budaya, sebagaimana yang selama ini kerap ditudingkan.

hubungan  antara sastra, ilmu, dan imajinasi.

     Sastra imajinatif adalah sastra yang berupaya untuk menerangkan, menjelaskan, memahami, membuka pandangan baru, dan memberikan makna realitas kehidupan agar manusia lebih mengerti dan bersikap yang semestinya terhadap realitas kehidupan. Dengan kata lain, sastra imajinatif berupaya menyempurnakan realitas kehidupan walaupun sebenarnya fakta atau realitas kehidupan sehari-hari tidak begitu penting dalam sastra imajinatif. 

     Jenis-jenis tersebut antara lain puisi, fiksi atau prosa naratif, dan drama. Puisi dapat dikelompokkan menjadi tiga, yakni puisi epik, puisi lirik, dan puisi dramatik. Fiksi atau prosa naratif terbagi atas tiga genre, yakni novel atau roman, cerita pendek (cerpen), dan novelet (novel “pendek”). Drama adalah karya sastra yang mengungkapkan cerita melalui dialog-dialog para tokohnya

     Pada akhirnya, semua pembahasan mengenai sastra imajinatif ini harus bermuara pada bagaimana cara memahami ketiga jenis sastra imajinatif tersebut secara komprehensif. Tanpa adanya pemahaman ini, apa yang dipelajari dalam hakikat dan jenis sastra imajinatif ini hanya sekadar hiasan ilmu yang akan cepat pudar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar