Subjek Hukum Internasional
Subjek hukum pada umumnya diartikan sebagai pemegang hak dan kewajiban menurut hukum internasional. Menurut Ian Brownlie, subjek hukum internasional merupakan entitas yang mengundang hak-hak dan kewajiban-kewajiban internasional, dan mempunyai kemampua untuk mempertahankan hak-haknya dengan mengajukan klaim-klaim internasional.
Kewenangan hukum (kecakapan hukum untuk menjadi subjek dari hak), adalah sesuatu hal yang diberikan oleh kaum objektif, artinya semata-mata diberikan orang, baik sebagai individu maupun sebagai persekutuan manusia. Dalam hukum internasional yang diakui sebagai subjek, bukan orang sebagai individu tetapi negara, yaitu manusia yang berdiri di bawah suatu pemerintah, dengan peraturan diwakili oleh hukum internasional. Dengan demikian yang dilindungi dalam hukum internasional adalah kepentingan negara, yang dengan sendirinya membawa akibat perlindungan terhadap kepentingan perseorangan karena negara merupakan persekutuan manusia.
Menurut Starke, subjek hukum internasional terdiri atas negara, tahta suci, Palang Mera Internasional, organisasi internasional, orang-perorangan (individu), pemberontak, dan pihak-pihak yang bersengketa.
1.Negara
Sejak lahirnya hukum internasional, negara sudah diakui sebagai subjek hukum internasional. Bahkan, hingga sekarang pun masih ada anggapan bahwa hukum internasional pada hakikatnya adalah hukum antarnegara. Dalam suatu negara federal, pengemban hak dan kewajiban subjek hukum internasional adalah pemerintah federal. Tetapi, adakalanya konstitusi federal memungkingkan negara bagian (state) mempunyai hak dan kewajiban yang terbatas atau melakukan hal yang biasanya dilakukan oleh pemerintah federal. Sebagai contoh, dalam sejarah ketatanegaraan USSR (Union of Soviet Socialist Republics) dulu, Konstitusi USSR (dalam batas tertentu) memberi kemungkinan kepada negara-negara bagian seperti Byelo-Rusia dan Ukraina untuk mengadakan hubungan luar negeri sendiri di samping USSR.
2.Takhta Suci
Di samping negara, sejak dulu Takhta Suci (Vatikan) merupakan subjek hukum internasional. Hal ini merupakan peninggalan sejarah masa lalu. Ketika itu, Paus bukan hanya merupakan kepala Gereja Roma, tetapi memiliki pula kekuasaan duniawi. Hingga sekarang, Takhta Suci mempunyai perwakilan diplomatik di banyak ibukota negara, termasuk di Jakarta.
Takhta Suci merupakan suatu subjek hukum dalam arti yang penuh. Oleh karena itu, Takhta Suci mempunyai kedudukan sejajar dengan negara. Kedudukan seperti itu terjadi terutama setelah diadakannya perjanjian antara Italia dan Takhta suci pada tanggal 11 Februari 1929, yang dikenal sebagai Perjanjian Lateran (Lateran Treaty). Berdasarkan perjanjian itu, pemerintah Italia antara lain mengembalikan sebidang tanah di Roma kepada Takhta Suci. Dalam sebidang tanah itulah kemudian didirikan Negara Vatikan.
3.Palang Merah Internasional
Palang Merah Internasional (PMI), yang berkedudukan di Jenewa, mempunyai tempat tersendiri dalam sejarah hukum internasional. Kedudukan Palang Merah Internasional sebagai subjek hukum internasional lahir karena sejarah masa lalu. Pada umumnya, kini Palang Merah Internasional diakui sebagai organisasi internasional yang memiliki kedudukan sebagai subjek hukum internasional, walaupun dengan ruang lingkup terbatas. Dengan kata lain, Palang Merah Internasional bukan merupakan subjek hukum internasional dalam arti yang penuh.
4.Organisasi Internasional
Kedudukan organisasi internasional sebagai subjek hukum internasional sekarang tidak diragukan lagi. Memang, pada mulanya belum ada kepastian mengenai hal tersebut. Organisasi internasional, seperti Perserikatan Bangsa- Bangsa dan Organisasi Buruh Internasional (ILO) mempunyai hak dan kewajiban yang ditetapkan dalam konvensi-konvensi internasional. Berdasarkan kenyataan ini, dapat dikatakan bahwa PBB dan organisasi internasional semacam itu merupakan subjek hukum internasional. Setidaknya, hal itu didasarkan pada hukum internasional khusus yang bersumberkan konvensi internasional.
5.Orang Perseorangan (Individu)
Orang perseorangan juga dapat dianggap sebagai subjek hukum internasional, meskipun dalam arti yang terbatas. Dalam perjanjian perdamaian Versailles tahun 1919, yang mengakhiri Perang Dunia I antara Jerman dengan Inggris dan Perancis (bersama sekutunya masing-masing), sudah terdapat pasal-pasal yang memungkinkan orang perseorangan mengajukan perkara ke hadapan Mahkamah Arbitrase Internasional. Dengan demikian, sejak itu sudah ditinggalkan dalil lama bahwa hanya negara yang bisa menjadi pihak di depan suatu peradilan internasional.
Dalam proses di muka Mahkamah Penjahat Perang yang diadakan di Nuremberg dan Tokyo, bekas para pemimpin perang Jerman dan Jepang dituntut sebagai orang perseorangan atau individu atas perbuatan yang dikualifikasikan sebagai kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang atau pelanggaran terhadap hukum perang dan permufakatan jahat.
6.Pemberontak dan Pihak dalam Sengketa (Belligerent)
Menurut hukum perang, dalam beberapa keadaan tertentu, pemberontak dapat memperoleh kedudukan dan hak sebagai pihak yang bersengketa (belligerent). Akhir-akhir ini muncul perkembangan baru yang mirip dengan pengakuan terhadap status pihak yang bersengketa dalam perang. Namun, perkmbangan baru tersebut memiliki ciri lain yang khas. Perkembangan baru tersebut adalah, adanya pengakuan terhadap gerakan pembebasan, seperti Gerakan Pembebasan Palestina (PLO).
Pengakuan terhadap gerakan pembebasan sebagai subjek hukum internasional tersebut merupakan perwujudan dari suatu pandangan baru. Pandangan baru tersebut terutama dianut oleh negara-negara dunia ketiga. Mereka mendasarkan diri pada pemahaman, bahwa bangsa-bangsa mempunyai hak asasi seperti: hak menentukan nasib sendiri; hak secara bebas memilih sistem ekonomi, politik, dan sosial mandiri; dan hak menguasai sumber kekayaan alam di wilayah yang didiaminya.
Sekian ulasan saya mengenai subjek hukum internasional. Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar